Merasa Diintai Agen CIA, Tiga Bulan Sembunyi di Rumah
Memiliki
anggota keluarga yang menderita skizofrenia, keluarga dituntut memiliki
kesabaran ekstra. Melalui para penderita yang tergabung dalam KPSI,
bisa didapat informasi penanganan yang tepat.
Laporan Agus Wirawan, JAKARTA
TIAP
berada di luar kota dan sang kakak tertua menelepon, Adi Nugroho
langsung tahu, pasti ada ’’pembunuh’’ suruhan CIA yang membuntuti.
Sebab, itulah yang memang selalu dikatakan oleh sang kakak.
Penjelasan panjang lebar Adi bahwa kekhawatiran tersebut sama sekali
tidak benar pasti bakal dibantah dengan sengit oleh sang kakak. Jadilah
adik-kakak itu beradu argumen yang berbuntut tuduhan ’’serius’’ bahwa
Adi telah disusupi CIA.
’’Perut mules pun dikira saya yang meracuni makanan,’’ sebut pria 31 tahun itu.
Sudah sepuluh tahun lamanya Adi dan keluarga harus hidup dengan
’’dikelilingi’’ agen-agen badan intelijen Amerika Serikat rekaan sang
kakak yang tak disebutkan namanya itu. Para agen tersebut bisa menyamar
menjadi apa saja. Misalnya tukang bakso, abang ojek, atau petugas
meteran listrik.
Diakui sang kakak, ’’informasi’’ itu mulai
didapat melalui suara-suara aneh di telinganya. ’’Sering dia mengatakan
ada suara yang seolah-olah membisikkan sesuatu ke telinganya,’’ ujar
Adi.
Perubahan perilaku tersebut mulai tertangkap saat sang
kakak kehilangan pekerjaan satu dekade silam. Awalnya, Adi mengira ada
makhluk-makhluk tak terlihat atau gaib yang berbicara kepada kakaknya.
Maklum, sejak muda sang kakak gemar berurusan dengan masalah klenik dan
paranormal.
Namun, lama-kelamaan bisikan-bisikan yang
diucapkan oleh kakaknya yang kini menduda itu semakin tidak bisa
dinalar. Puncaknya terjadi ketika kakaknya mengaku diincar para agen CIA
sehingga tak berani keluar rumah sampai tiga bulan.
Baru setelah
browsing di internet dua tahun lalu, Adi tahu apa yang dialami sang
kakak. Rupanya, kakak Adi tersebut menderita skizofrenia. Karena itu,
sang kakak sulit membedakan antara dunia nyata dan imajinasi.
Mengutip Wikipedia, skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul
karena ketidakseimbangan pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia dalam
otak. Pada penderita skizofrenia ditemukan penurunan kadar transtiretin
atau prealbumin, yang merupakan pengusung hormon tiroksin.
Sering penyakit itu diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan
halusinasi (persepsi tanpa rangsang pancaindera). Tetapi, salah besar
kalau menyebut gangguan kejiwaan tersebut sebagai gila, seperti yang
kerap disalahpersepsikan tak sedikit masyarakat selama ini.
Penderitaan tentu saja tak hanya dirasakan oleh si penderita yang
seperti hidup dalam dua dunia. Orang-orang terdekatnya juga. Itu pula
yang selama ini dialami Adi dan keluarga.
Hampir setiap hari
Adi dan keluarganya harus mendengarkan omong kosong tanpa isi dari
kakaknya. Pembicaraan yang sangat lama, rutin, dan tiada arti itu pun
kerap memancing emosi sehingga berujung pertengkaran fisik.
Apalagi, keluarga sudah berusaha susah payah memberikan pengobatan,
mulai yang rasional hingga irasional, tetapi tanpa hasil. Bahkan di
depan dokter atau penyembuh, kakaknya bisa berbohong dengan mengatakan
bahwa dirinya baik-baik saja.
’’Kakak saya juga tetap bekerja
selama ini, tetapi berganti-ganti. Nggak ada yang tahu bahwa ada yang
salah dengan dia. Hanya keluarga yang tahu,’’ ucap Adi.
Film
Beautiful Mind (2001) yang memenangi empat penghargaan Academy Awards
juga menggambarkan dengan jelas hal tersebut. Bagaimana Alicia Nash,
yang diperankan dengan sangat baik oleh Jennifer Connelly dan
mengantarkannya meraih Oscar, harus jatuh bangun mendampingi sang suami,
John Nash, yang genius, tetapi menderita skizofrenia. Berkat kesetiaan
dan kegigihannya, John Nash, yang di film itu diperankan oleh Russell
Crowe, menjadi pemenang bersama Nobel Ekonomi 1994 dengan Reinhard
Selten dan John Harsanyi.
Di Indonesia sudah ada organisasi
tempat para penderita skizofrenia. Keluarga para penderita juga bisa
saling berbagi di Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) itu.
Lewat KPSI pula, Adi menemukan penguat semangat. Sebab, ternyata banyak
keluarga lain yang juga harus menjalani hal sama.
Maya (bukan
nama sebenarnya), misalnya, yang mengaku bersuami seorang penderita
skizofrenia. Akibat gangguan kejiwaan itu, pernikahan mereka yang kini
sudah sepuluh tahun berada di ambang perceraian. ’’Suami saya tidak mau
mengakui penyakitnya, apalagi berobat ke psikiater. Menurut dia, gejala
itu disebabkan guna-guna teman sekerjanya,’’ tutur Maya.
Padahal, sebagai seorang dokter, Maya mengetahui secara pasti bahwa
gejala-gejala yang ditunjukkan oleh sang suami jelas mengarah ke
skizofrenia. Dari luar, sang suami memang terlihat seperti orang normal
pada umumnya. Namun, pada saat tertentu, muncul pikiran dan pembicaraan
yang aneh gara-gara halusinasi.
’’Inteligensinya juga tidak
turun. Tetapi, untuk tipe lain, memang berbeda-beda gejalanya. Intinya,
kita harus sabar,’’ tutur perempuan 34 tahun itu.
Seorang
penderita skizofrenia, M. Raharja (35), mengakui bahwa gejala halusinasi
seperti itu jamak terjadi. Dia juga sering mendengar suara-suara
berbisik pelan seperti yang dialami kakak Adi.
Bisikan itu
bermacam-macam, kadang menyakitkan dan tak jarang pula mengejek. Hal
tersebut sering membuat emosi bergejolak tak menentu. Kadang penderita
marah, kadang tertawa sendiri. ’’Malah pernah saya dibuat seolah merasa
sebagai utusan Tuhan yang bisa menyembuhkan orang lain,’’ ungkap dia.
Respons dari halusinasi itu berbeda-beda, bergantung si penderita.
Jika bertipe pemarah, si penderita akan meluapkan emosi dengan membabi
buta karena merasa terancam dengan situasi tertentu. Sementara itu,
penderita yang bertipe penyabar hanya bisa ketakutan atau menjauhkan
diri dari orang lain.
’’Saya biasanya mengunci diri di kamar sambil mendengarkan lagu yang relaxing. Itu cukup meredakan,’’ tegasnya.
Bagus Utomo, pendiri KPSI, menyarankan, anggota keluarga yang
menunjukkan gejala-gejala skizofrenia harus segera diperiksakan ke
dokter. Sebab, banyak pihak yang masih menganggap penyakit itu nonmedis
sehingga upaya penyembuhannya melalui paranormal dan lainnya. ’’Waktu
yang terbuang untuk bergulat dengan kondisi akut membuat jeda panjang.
Penyembuhannya harus menggunakan obat-obatan,’’ tegasnya.
Pria
berusia 37 tahun itu menuturkan berpengalaman menangani kakaknya yang
menderita skizofrenia selama 15 tahun. Pekerjaan guru STM yang dulu
dijalani kakaknya hampir tak mungkin ditekuni lagi.
’’Inilah
PR (pekerjaan rumah) terbesar kami sekeluarga. Kami harus berpacu dengan
waktu. Mumpung orang tua masih ada, harus segera memandirikan Mas Bayu
(nama sang kakak),’’ ucap dia.
Bagus menyatakan pernah
berpikir bahwa perjuangannya akan sia-sia karena dirinya dan
adik-adiknya juga harus mulai memikirkan masa depan masing-masing.
Tetapi, selama masih ada waktu, dia bakal terus berusaha.
’’Bila suatu saat harus kalah, saya tidak akan menyerah begitu saja.
Saya harus menang di pertempuran lain. Saya harus membantu
keluarga-keluarga lain,’’ tegasnya.
Dengan terbentuknya KPSI,
anggotanya yang berjumlah sekitar 4 ribu orang kini bisa berbagi
informasi tentang cara menangani penderita skizofrenia. Sebab,
anggotanya bukan saja para keluarga, melainkan juga para penderita.
’’Ada penderita skizofrenia anggota KPSI yang bekerja sebagai dosen,
teknisi, akuntan, dan lain-lain. Kakak saya sekarang sudah bekerja lagi
sebagai sopir angkot,’’ jelas Bagus. (c1/niz)
RADAR LAMPUNG. 18 Juli 2011 | 11:40 WIB
0 komentar:
Posting Komentar