Makin tahun, makin
banyak pasien gangguan jiwa di Jakarta. Untuk pencegahan dan
penyembuhan, setiap rumah sakit di ibu kota menyampaikan berbagai macam
pendekatan.
---
MENGALAMI gangguan jiwa atau tidak,
ringan atau berat, yang pertama harus dilakukan seseorang adalah
deteksi dini. Direktur Utama RS Soeharto Heerdjan Grogol Ratna Mardiati
SpKJ mengatakan, instansinya memiliki metode khusus untuk mendeteksi
gradasi gangguan jiwa.
Metode itu melalui tes psikiatri.
Tekniknya, kepada seseorang diberikan kuesioner. Pertanyaan-pertanyaan
yang harus dijawab sebenarnya amat sederhana. Dari jawaban-jawabannya,
kita bisa mengetahui, apakah seseorang memiliki gangguan jiwa atau
tidak.
Selain itu, kata Ratna, pihaknya membentuk grup-grup
kesehatan jiwa untuk "jemput bola". Mereka mendatangi posyandu, pos
pembinaan terpadu, bahkan ke rumah-rumah. Cara itu perlu dilakukan
lantaran kesadaran masyarakat untuk datang ke rumah sakit masih sangat
rendah.
"Kecuali mereka yang memiliki pendidikan tinggi dan peduli akan kesehatan," tandasnya.
Surjo
Dharmono, psikiater RSUP Cipto Mangunkusumo, membenarkan betapa
pentingnya deteksi dini tersebut. Dia memberikan contoh program untuk
penderita psikosis dini yang dikembangkan di Australia.
Caranya, dengan membuka tempat-tempat screening di pojok-pojok mal, sekolah, maupun tempat umum lainnya. Di tempat-tempat itulah, deteksi awal gangguan jiwa dilakukan.
Sayang,
kata Surjo, Indonesia mungkin belum mampu menerapkan program seperti
itu. ''Program itu memang cukup mahal. Apalagi penduduk Indonesia amat
besar. Kondisinya berbeda dengan Australia,'' sebutnya.
Tentu, kalau tidak ingin memeriksakan diri, seseorang bisa mencoba untuk me-manage sendiri
stres. Spesialis kedokteran jiwa dan konsultan dari RS Persahabatan
Mardi Susanto mengatakan, kunci agar tidak stres amat mudah. Yaitu,
mencapai titik keseimbangan (ekuilibrium). ''Sebisa-bisanya kita
berupaya menyeimbangkan hubungan secara horizontal dan vertikal,''
ujarnya.
Mardi yakin setiap persoalan bisa diatasi. Dengan bekal keyakinan, seseorang bisa me-manage stres
sejak dini. Selain itu, Mardi menyarankan agar kita terbiasa
mengungkapkan setiap persoalan yang kita hadapi kepada orang terdekat.
''Curhat
amat penting. Meski persoalan itu sepele, jangan diremehkan. Curhat
bisa mengurangi beban yang kita hadapi,'' katanya. Apalagi hidup di kota
sarat dengan berbagai persoalan hidup. ''Berbagilah dengan orang yang
Anda percaya. Bisa keluarga atau teman,'' ungkap dokter yang hobi main
tenis itu.
Nah, kalau ternyata memang mengalami gangguan jiwa, bagaimana penyembuhannya?
Dirut
RSJ Soeharto Heerdjan Grogol Ratna Mardiati mengatakan, untuk
penyembuhan pasien harus ada kombinasi antara pengobatan medis dan
psikologis. Konsumsi obat-obatan hingga kini masih dibutuhkan untuk
menolong pasien jiwa. ''Pengobatan itu jangan sampai terputus. Sebab,
pasien bisa kambuh,'' ungkapnya.
Untuk pendekatan psikologis,
Kepala Balitbang RS Soeharto Heerdjan Grogol dr Prianto SpKJ
mengungkapkan, caranya adalah membangun kepercayaan terhadap pasien.
Dokter harus memiliki empati kepada mereka. ''Tujuannya membangun
kepercayaan terhadap pasien. Dengan begitu, pasien merasa yakin bahwa
dirinya dapat sembuh,'' ujarnya.
Sepintas, kata dia, modal
kepercayaan terdengar sepele. Namun, efeknya bagi pasien amat besar.
''Mereka merasa mendapatkan dukungan untuk sembuh,'' ucapnya.
Psikiater
RSUP Cipto Mangunkusumo Dr Surjo Dharmono menambahkan, yang tidak kalah
penting adalah dukungan psikososial. Sedapat-dapatnya pasien tidak
dibiarkan menganggur. Mereka harus diberi kesibukan dan membaur dengan
lingkungan sekitar.
Pasien neurosis (ringan) harus dimotivasi
agar tidak meninggalkan rutinitas keseharian mereka. Bagi pasien
psikotik (gangguan berat), harus diberikan pelatihan kerja.
Selama
ini, kata Surjo, RSCM bersama Depsos memiliki program bengkel kerja.
''Tujuannya memunculkan kembali motivasi pasien,'' jelasnya. Dengan
aktivitas yang jelas, diharapkan setahap demi setahap para pasien bisa
kembali normal. (kit)
0 komentar:
Posting Komentar